Pendidikan sering kali disebut sebagai “investasi masa depan.” Namun, ironinya, kebijakan anggaran justru sering memperlakukannya seperti pengeluaran rumah tangga yang bisa dikurangi kapan saja. Kita memujinya sebagai kunci kemajuan, tetapi sering kali membiarkan pintunya terbuka bagi ketidakpastian.
Baru-baru ini, ironi ini kembali terlihat dengan pemangkasan anggaran Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) yang drastis—dari Rp 14,698 triliun menjadi hanya Rp 1,310 triliun (Kompas, 13/02/2025). KIP Kuliah adalah program yang telah membantu ribuan mahasiswa dari keluarga kurang mampu mengakses pendidikan tinggi. Namun, pemotongan ini menimbulkan gelombang ketidakpastian yang menghantui masa depan mereka.
Pemerintah buru-buru memberi klarifikasi bahwa program ini tetap berjalan dan tidak terdampak efisiensi anggaran. Namun, pernyataan semacam ini terdengar seperti pramugari yang dengan senyum datar mengumumkan bahwa pesawat hanya mengalami “sedikit turbulensi.” Padahal, bagi ribuan mahasiswa penerima manfaat, turbulensi ini lebih menyerupai kehilangan satu sayap pesawat di tengah penerbangan.
Dalam pidato politik, pendidikan sering kali mendapat tempat terhormat. Orang-orang menyebutnya tulang punggung bangsa. Mereka menganggapnya jantung peradaban. Ia juga dipandang sebagai jalan menuju keadilan sosial. Namun, ada perbedaan besar antara menghormati pendidikan sebagai gagasan dan memperlakukannya sebagai prioritas nyata. Jika pemerintah benar-benar memprioritaskan pendidikan, mengapa mereka mudah mengurangi anggarannya saat keuangan negara tertekan?
Sebuah keluarga yang benar-benar mengutamakan pendidikan anak-anaknya tidak akan tiba-tiba berhenti membayar uang sekolah hanya karena tagihan listrik membengkak. Mereka akan mengatur ulang keuangan, mencari solusi, dan melakukan pengorbanan lain—apa pun, kecuali mengorbankan pendidikan.
Namun, di tingkat negara, pendidikan sering kali menjadi korban pertama. Anggaran infrastruktur tetap megah, proyek-proyek besar tetap berjalan, sementara pendidikan? Ia seperti tamu yang diundang ke pesta kebijakan, tetapi diberi kursi di pojok dan disajikan makanan terakhir.
Mahasiswa dalam Kabut Ketidakpastian
Kita sering lupa bahwa edukasi bukan hanya tentang sekolah dan universitas. Edukasi adalah perjalanan, dan perjalanan membutuhkan kepastian.
Bagi ribuan mahasiswa penerima KIP Kuliah, kepastian itu adalah segalanya. Beasiswa ini bukan sekadar tunjangan, melainkan fondasi yang memungkinkan mereka tetap berada di bangku kuliah. Ini adalah uang untuk membayar kos, membeli buku, bahkan sekadar memastikan mereka bisa makan dengan layak setiap hari.
Saepullah, Presiden Mahasiswa STAI Wasilatul Falah, menyoroti dampak nyata dari ketidakpastian ini. “Mahasiswa yang bergantung pada KIP Kuliah tidak hanya kehilangan jaminan pendidikan, tetapi juga kepercayaan terhadap komitmen negara dalam mendukung generasi muda. Jika negara benar-benar menganggap pendidikan sebagai investasi, mengapa mereka enggan menanamkan modal?”
Ketidakpastian ini menimbulkan efek domino. Mahasiswa yang seharusnya fokus pada studi mereka kini harus mencari alternatif, mulai dari mencari pekerjaan tambahan hingga mempertimbangkan untuk berhenti kuliah. Situasi ini membuat generasi lebih rentan. Mereka berisiko putus sekolah, menganggur, dan terjebak dalam kemiskinan.
Mengapa Pendidikan Masih Dianggap Beban?
Negara-negara maju memahami bahwa pendidikan bukanlah pengeluaran, melainkan investasi. Finlandia menggratiskan pendidikan tinggi. Mereka tahu setiap euro yang dihabiskan akan kembali. Dana itu kembali dalam bentuk tenaga kerja berkualitas dan ekonomi yang lebih kuat.
Di Indonesia, kita juga sering mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi.Namun, jika itu benar, mengapa kita selalu menganggapnya beban anggaran? Mengapa kita terus menguranginya setiap kali situasi ekonomi berubah?
Ini bukan sekadar pertanyaan akademis. Ini adalah pertanyaan yang menentukan masa depan kita sebagai bangsa. Di negara ini, kita memiliki banyak ujian—ujian nasional, ujian masuk perguruan tinggi, ujian skripsi. Tetapi ada satu ujian yang lebih besar dan lebih penting: ujian bagi pemerintah dan masyarakat dalam memperlakukan pendidikan.
Apakah kita benar-benar melihatnya sebagai prioritas? Atau hanya sebagai janji kampanye yang bisa disesuaikan sesuai keadaan?
Pemerintah mungkin akan menemukan cara untuk mengembalikan anggaran KIP Kuliah. Mungkin tidak. Tapi satu hal yang pasti: ketidakpastian ini tidak boleh menjadi pola. Edukasi seharusnya tidak berada dalam permainan tarik-ulur anggaran setiap tahun.
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar percaya bahwa pendidikan adalah investasi terbaik?
Jika jawabannya ya, maka kita harus berhenti mengurangi biaya itu sesuka hati. Pendidikan bukan sekadar statistik dalam laporan tahunan. Ini adalah nyawa bagi masa depan generasi muda.
Dan jika kita terus membiarkan pendidikan terombang-ambing dalam ketidakpastian, maka kita sudah gagal dalam ujian yang sesungguhnya. Seorang mahasiswa tidak bisa membangun masa depan di atas janji yang berubah-ubah.