TORAJA – Pemakaman di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, bukan sekadar prosesi duka. Masyarakat Toraja mengenalnya sebagai Rambu Solo’, sebuah upacara adat megah yang kerap berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu, bahkan memikat perhatian wisatawan mancanegara.
Berbeda dengan pemakaman pada umumnya, Rambu Solo’ justru dianggap pesta penghormatan terakhir. Jenazah yang meninggal bisa disimpan di rumah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, karena keluarga harus menabung biaya besar untuk melaksanakan upacara. Bagi orang Toraja, jenazah bukanlah orang mati, melainkan “to makula” atau orang sakit yang masih tinggal bersama keluarga.
Puncak prosesi ditandai dengan penyembelihan kerbau dan babi dalam jumlah besar. Seekor kerbau belang khas Toraja (Tedong Bonga) bahkan bisa bernilai ratusan juta rupiah, dipercaya dapat mempercepat roh menuju Puya, alam baka dalam kepercayaan Toraja.
Lebih dari itu, keunikan pemakaman Toraja juga tampak pada makam tebing batu dan gua alami. Peti mati disusun rapi di dinding tebing, sementara untuk bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi, tradisi lama menempatkan mereka dalam lubang pohon yang kemudian ditutup serat kayu.
Tak ketinggalan, ada Tau-tau, patung kayu menyerupai wajah almarhum yang diletakkan di depan makam. Patung ini dipercaya sebagai perwujudan roh yang sudah meninggalkan jasad.
Kemeriahan Rambu Solo’ membuat banyak wisatawan asing datang setiap tahunnya. Mereka menyebut Toraja sebagai “Mesirnya Indonesia”, karena tradisi pemakaman di daerah ini sarat dengan filosofi kehidupan, kematian, dan penghormatan kepada leluhur.
Dengan segala keunikan dan kemegahannya, Rambu Solo’ bukan hanya upacara adat, tetapi juga cermin betapa kuatnya ikatan masyarakat Toraja dengan tradisi dan nilai spiritual yang diwariskan turun-temurun.