- Advertisement -
DBN – Pandeglang, Dalam rangkaian kegiatan Seba Baduy yang diselenggarakan pada 27-30 April 2023 di Kabupaten Lebak salah satunya adalah bincang budaya yang dilaksanakan di panggung utama festival seni budaya di Alun-alun Rangkasbitung. Untuk memikat kaum milenial penyelenggara mengambil tema “Yuk kepo’in Baduy. Kupas seputar Baduy”
Diskusi yang dihadiri oleh sekitar ratusan orang dari berbagai komunitas ini dipandu oleh Budi Harsoni menghadirkan 4 narasumber; Wawan Sukmara (Budayawan Kab. Lebak), Imam Rismahayandi (Kadisbudpar Lebak), Dadan Sujana (Banten Heritage) dan Nona Faleta (Vice President CSR BCA) dengan mengusung empat arus utama persoalan yang disajikan, yakni sejak kapan baduy ada? Bagaimana peran pemerintah Kebupaten Lebak terlibat dalam prosesi adat seba? Bagaimana seharusnya generasi muda milenial dalam menyikapi Seba Baduy? dan bagaimana membangun strategi ekonomi kratif melalui Budaya Baduy.
Mendapatkan kesempatan pertama, Imam Rismahayandi menjelaskan bahwa pada seba kali ini masuk kedalam Seba Gede yang akan diikuti oleh ribuan Masyarakat Baduy Luar dan Dalam. Selain itu pemerintah daerah yakni Bupati Lebak akan menerima langsung dan menyerahkan Perbup no. 38 Tahun 2023 tentang Pengelenggaraan Pemerintahan Desa Adat Kanekes. Sebagai bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap masyarakat Suku Baduy yang setia menjaga alam dan budaya lokal di Kabupaten Lebak.
“Baduy sudah menjaga alam, menjaga tradisi, menjaga budaya dan menjaga kita semua. Maka kita harus menjaga baduy. Dangan turut melindungi memberikan legalitas dan kewenangan penuh kepada mereka untuk menjalankan tradisi dan budaya yang telah diwariskan leluhur kita” ungkap Imam.
Selain itu beliau juga menyampaikan bahwa dalam hal ini (Seba) pemerinta daerah melalui Disbudpar hanya mengemas rangkayan seba dengan penyambutan, festival seni dan budaya tanpa mengganggu esensi ritual inti seba itu sendiri.
Sementara Dadan sujana mengupas tentang sejarah Seba Badu dengan sumber litelatur yang beliau paparkan. Beliau menjelaskan bahwa seba dilakukan sejak masa kerajaan pajajaran (kerajaan sunda) baik di Banten Girang maupun di bogor. Menurut buku yang dibacanya (kheizen) buku yang diterbitkan tahun 1852. Seba selain dilakukan di Rangkasbitung, Serang, Pandeglang, juga silakukan di Jakarta. Seba tidak dilakukan ke gubernur jendral, melaikan ke titisan ratu banten (Rumah Jayadiningrat) artinya Seba dilakukan pada masa kesultanan Banten hingga saat ini. Dan akan terus dilaksanakan hingga Baduy tidak ada.
Seorang Budayawan Kabupaten Lebak (Wawan Sukmara) menegaskan bahwa Sebab Baduy adalah tuntunan bukan tontonan. Mengingat banyak sekali hal yang bisa kita pelajari dari prosesi adat ini. Terutama kaum milenial jangan sampai momentum sakral ini hanya lewat dan memenuhi branda media sosial saja, sedangkan seni, tradisi bahkan permainan tradisional yang harusnya lestari dan tersaji di sini sudah tidak dikenali. Para kaum muda memegang peran penting untuk terus melestarikan warisan Budaya.
Mendapatkan giliran terakhir Nona Faleta, menambahkan banyak anak muda yang sudah tidak mengenal siapa kita dan darimana kita. Oleh karenanya melalui program kemitraan beliau mengaku sedang mempelajari tradisi dan budaya baduy. Sehingga langkah pembinaan dan pengembangan terutama dalam sektor ekonomi kreatif di Baduy bisa tepat sasaran.
“Jangan sampai kita lebih mengenal artis daripada tokoh yang berjasa untuk negeri ini. Dan jangan sampai kita lebih bangga menggunakan produk luar sementara kita sendiri memiliki produk yang tidak kalah kualitasnya” Pungkas Nona Faleta menutup sambutannya. (RED/Mardiana)