Serang — Sepak bola bukan sekadar permainan, melainkan juga budaya, industri, dan identitas yang diakui di kawasan Eropa. Di balik keberhasilan sepak bola benua biru, terdapat sistem yang kuat dan mendasar yang menghasilkan keunggulan berkelanjutan. Hal ini sekaligus menjadi refleksi atas kegagalan Tim Nasional Indonesia dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Terdapat kesamaan antara perkembangan sistem sepak bola Eropa dengan evolusi teori organisasi dan manajemen di dunia Barat. Setidaknya, terdapat tiga fondasi utama yang menopang kemajuan sepak bola Eropa, yang dapat diibaratkan sebagai tahapan perkembangan teori manajemen modern.
1. Pembinaan Holistik dan Terstruktur
Di Eropa, setiap klub memiliki filosofi bermain yang ditanamkan sejak usia dini, seperti Total Football di Belanda atau sistem La Masia di Spanyol. Pembinaan menekankan pada teknik, visi bermain, pengambilan keputusan, dan kemampuan taktis yang dikembangkan secara teratur dan berkesinambungan.
Pendekatan ini mencerminkan Teori Klasik dalam manajemen, seperti Taylorisme dan Administrasi Fayol, yang menekankan efisiensi, struktur kerja, dan koordinasi yang sistematis. Pembinaan sejak dini berfungsi sebagai bentuk spesialisasi dan koordinasi dalam organisasi yang disiplin.
2. Industri Profesional dan Sistem Birokrasi
Sepak bola Eropa beroperasi layaknya industri yang sangat profesional. Setiap elemen, mulai dari liga, klub, hingga aspek pemasaran, dikelola dengan standar internasional. Kompetisi yang ketat menuntut transparansi, efisiensi, dan profesionalitas tinggi.
Struktur tersebut mencerminkan konsep birokrasi Max Weber, yang menekankan pentingnya hierarki, aturan formal, serta kesetaraan dalam pelayanan. Dengan sistem manajemen yang matang dan stabil, sepak bola Eropa berhasil membangun ekosistem yang terorganisir dan berkelanjutan.
3. Stabilitas Budaya, Kontinuitas, dan Hubungan Manusia
Fanatisme dan identitas budaya yang kuat di Eropa menjadikan kontinuitas sebagai kunci utama keberhasilan. Meskipun pelatih berganti, filosofi klub dan visi jangka panjang tetap dipertahankan untuk menjaga konsistensi organisasi.
Pendekatan ini sejalan dengan teori pascaklasik, khususnya Sekolah Hubungan Manusia yang dipelopori Elton Mayo, yang menekankan pentingnya faktor sosial, moral, dan psikologis dalam meningkatkan produktivitas organisasi. Loyalitas suporter yang diwariskan antargenerasi menjadi bukti kuat bahwa aspek hubungan manusia berperan besar dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan organisasi.
Pelajaran dari Kegagalan Timnas Indonesia
Kegagalan Timnas Indonesia dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026 menjadi contoh nyata betapa mahalnya harga dari ketidakstabilan organisasi. Pergantian pelatih secara mendadak di tengah kualifikasi mengganggu momentum, merusak chemistry tim, dan berdampak pada performa serta psikologis pemain.
Fenomena ini menegaskan pentingnya penerapan Teori Kontingensi, yang menyatakan bahwa tidak ada satu cara terbaik yang universal dalam manajemen—setiap keputusan harus disesuaikan dengan konteks dan kondisi organisasi. Keputusan terburu-buru berdasarkan hasil sesaat justru dapat menghambat visi jangka panjang.
Selain itu, Indonesia perlu belajar dari konsep Organisasi Pembelajaran (Learning Organization) yang menjadi ciri khas sistem Eropa—di mana kegagalan dijadikan bahan refleksi untuk pengembangan berkelanjutan, bukan alasan untuk mengganti sistem secara drastis.
Nama Penulis: Mochammad Raihan Baron
Dosen Pengampu: Angga Rosidin, S.I.P., M.A.P.
Kaprodi: Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos.
Mochammad Raihan Baron,Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang (UNPAM) Kampus Serang










