DIDISTRIKBANTENNEWS.COM – Memanfaatkan dunia, baik untuk kepentingan duniawi maupun yang mengatasnamakan akhirat, dengan menjadikan dunia sebagai alat, fasilitas, atau pendukung keinginan khas akhirat seperti kenikmatan akhirat, surga, dan keindahan lainnya, merupakan bagian dari dorongan manusia dalam berkehidupan. Hal ini mencakup popularitas, ekonomi, dan sosial-politik yang sering dianggap sebagai tameng atau kendaraan untuk melancarkan kepentingan akhirat.
Namun, usaha untuk meraih hal-hal tersebut seringkali membuat seseorang jungkir balik. Dengan semangat membara atau keinginan kuat, seseorang bersegera dan berusaha keras untuk meraihnya, dan pada saat itulah muncul semangat progresifisme atau paham kemajuan.
Pertanyaannya, apakah benar kehidupan adalah dalam rangka kemajuan? Apakah sikap lain, yang mungkin bertentangan dengan sikap dan nilai atau semangat kemajuan tersebut, harus diabaikan? Apakah usaha untuk meluruskannya harus ditentang? Hal ini tentu kontras dengan semangat kebenaran, kebijaksanaan, dan kebaikan lainnya yang tidak hanya memihak kepada suatu paham tertentu yang merupakan produk duniawi.
Sebagai contoh, kemajuan yang dijadikan sebagai bagian dari semangat perubahan menuju sesuatu yang lebih baik, atau penyelesaian suatu masalah, serta untuk meraih keinginan atau cita-cita bagi suatu kelompok masyarakat, kemudian berkelanjutan dan berkembang hingga mencapai suatu kondisi yang tidak terkontrol. Kondisi ini dapat memuncak pada kerusakan, sehingga perlu perbaikan sebagai esensi dari eksistensi kehidupan apa pun.
Dunia dapat kehilangan esensinya dan hanya menjadi serpihan hina yang tidak berharga bahkan bagi sesama makhluk Tuhan, termasuk sesama manusia. Kondisi ini berbahaya ketika kehinaan yang seharusnya dijauhi justru meraih berbagai bentuk kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini akan semakin parah jika peringatan diabaikan dan mengikuti jejak atau langkah setan yang identik dengan jalan dosa, permusuhan, dan kebinasaan.
Sebuah peribahasa Arab, “Khoirul umuuri awsathuha”, yang berarti “sebaik-baik perkara adalah pertengahan”, mengajarkan kita untuk menyikapi ide kemajuan dengan biasa saja, tanpa perlu berlebihan. Jika dirasa telah jauh melangkah dengan ide tersebut, maka segera ingatlah Allah, “Wallahu a’lam!”.
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera