KOTA SERANG – Ribuan santri dari berbagai pesantren di Kota Serang memadati halaman Masjid Agung Ats-Tsauroh, Selasa (21/10/2025), dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025.
Kegiatan yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Serang ini berlangsung khidmat dan penuh semangat dengan mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.”
Tokoh ulama Banten sekaligus penggagas Hari Santri Nasional, KH Matin Syarkowi, menjadi salah satu penceramah utama dalam kegiatan tersebut. Dalam tausiyahnya, KH Matin menegaskan bahwa pesantren merupakan bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia yang telah ada jauh sebelum republik berdiri.
“Sebelum republik ini lahir, pesantren sudah lebih dulu ada. Saya sampaikan ini agar para santri memiliki semangat tinggi dalam belajar dan menjaga tradisi keilmuan Islam,” ujar KH Matin Syarkowi yang juga menjabat sebagai A’wan PBNU Masa Khidmat 2022–2027.
Pesantren, Benteng Moral dan Cikal Bakal Perjuangan Bangsa
KH Matin mengingatkan bahwa peran pesantren tidak bisa dipisahkan dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dari rakyat dan dimotori oleh para kiai serta santri.
“Pelopornya adalah para pimpinan pesantren salafiyah yang berjuang dengan ilmu dan ketulusan. Mereka membentuk karakter bangsa yang berakhlak dan cinta tanah air,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pesantren di Indonesia terbagi menjadi dua model, yakni pesantren salaf yang mempertahankan sistem tradisional, dan pesantren khalaf yang mengadopsi sistem pendidikan modern seperti boarding school.
“Banyak lulusan pesantren salafiyah yang menjadi pemimpin bangsa, bahkan pernah ada yang menjadi Presiden Republik Indonesia,” tegasnya.
“Anggapan bahwa pesantren tidak berkontribusi terhadap pembangunan bangsa adalah keliru,” tambahnya.
Dari Banten, Lahir Gagasan Nasional
Dalam kesempatan tersebut, KH Matin juga mengenang perjuangannya pada tahun 2011 ketika mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Pesantren Salafiyah ke DPRD Provinsi Banten. Meski sempat tak ditindaklanjuti, ia bersama para ulama terus memperjuangkan agar negara hadir bagi pesantren.
“Pada 2014, kami bersama para kiai melakukan kontrak politik agar negara hadir untuk pesantren. Akhirnya disepakati dan ditandatangani penetapan Hari Santri pada 5 Juli 2014,” tuturnya.
Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil. Pada 2015, pemerintah secara resmi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, dan pada 2019 lahir Undang-Undang Pesantren.
“Saya bangga, gagasan yang lahir dari Banten kini menjadi produk nasional,” ujar KH Matin.
Wali Kota Serang: Santri Penjaga Moral dan Persatuan Bangsa
Wali Kota Serang Budi Rustandi yang turut hadir dalam acara tersebut menyampaikan apresiasi kepada seluruh santri dan ulama yang terus menjaga semangat perjuangan dan keikhlasan dalam berkhidmat kepada bangsa.
“Santri bukan hanya identik dengan kitab kuning, tetapi juga simbol penjaga moral bangsa dan pelopor persatuan,” katanya.
Budi menegaskan komitmen Pemerintah Kota Serang untuk memperkuat peran pesantren dan memperluas kerja sama dengan ormas Islam.
“Kami ingin mewujudkan Kota Serang yang madani, maju, dan sejahtera dengan sinergi antara pemerintah, ulama, dan santri,” tegasnya.
Ketua DPRD Kota Serang: HSN Momentum Refleksi Perjuangan
Ketua DPRD Kota Serang Muji Rohman menilai bahwa Hari Santri harus menjadi momentum refleksi perjuangan, bukan sekadar seremonial.
“Santri adalah penjaga moral dan ideologi bangsa di tengah arus globalisasi. Mereka benteng akhlak dan penggerak perubahan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya keteladanan dalam dunia pendidikan.
“Kalau murid sudah berani melawan guru, maka rusaklah bangsa ini. Keteladanan harus dijaga,” tambahnya.
Semangat Kemandirian NU Kota Serang
Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Serang KH Saifun Nawasi turut menyampaikan rasa bangga karena kegiatan peringatan Hari Santri kali ini terlaksana secara mandiri tanpa bantuan pemerintah.
“NU mandiri, kuat, dan bermartabat. Semua biaya berasal dari sumbangan jamaah dan para dermawan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa semangat gotong royong warga NU merupakan wujud nyata kecintaan santri terhadap bangsa.
“Kita datang bukan karena undangan atau jamuan, tetapi karena cinta terhadap perjuangan para ulama,” ucapnya.










