LEBAK – Kekecewaan masyarakat terhadap pelayanan di RSUD Malingping semakin meluas. Kasus meninggalnya Imas (44), warga Kampung Cipanas, Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, menjadi bukti nyata bahwa pelayanan kesehatan di daerah masih membutuhkan perhatian serius. Peristiwa ini mengguncang nurani publik dan memunculkan kembali pertanyaan mendasar: sejauh mana rumah sakit menjalankan fungsinya sebagai tempat menolong, bukan tempat kehilangan harapan.
Imas datang ke rumah sakit pada 2 November 2025 dalam kondisi lemah dan membutuhkan penanganan segera. Namun, keluarga menuturkan bahwa pelayanan medis berjalan lamban. Bahkan infus pasien dibiarkan habis tanpa segera diganti hingga akhirnya Imas menghembuskan napas terakhir pada 7 November 2025.
Yang memperburuk situasi, pihak rumah sakit disebut menolak permintaan keluarga untuk mengantar jenazah menggunakan ambulans hanya karena Imas tercatat sebagai peserta BPJS Kesehatan. Sikap seperti ini menimbulkan kesan bahwa fasilitas publik belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil.
“Rumah sakit itu tempat mencari pertolongan, bukan tempat kehilangan harapan,” ucap seorang warga Bayah dengan nada kecewa.
Kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa sistem pelayanan kesehatan di daerah masih jauh dari kata layak. Ketika administrasi dan prosedur lebih diutamakan dibandingkan nyawa manusia, di situlah nurani mulai kehilangan arah. Birokrasi yang kaku tanpa empati membuat pelayanan publik kehilangan makna kemanusiaannya. Padahal, dalam pelayanan kesehatan, kecepatan dan kepedulian adalah bentuk nyata penghormatan terhadap hak hidup manusia.
Dalam perspektif Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo, kejadian ini menggambarkan pudarnya tiga nilai utama dalam kehidupan sosial: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi menekankan pentingnya memanusiakan manusia, namun dalam kasus ini pasien justru diperlakukan seolah hanya angka administratif. Liberasi berarti membebaskan dari ketertindasan, tetapi masyarakat miskin justru masih terbelenggu oleh sistem pelayanan yang tidak adil. Sementara transendensi nilai moralitas dan ketuhanan dalam tindakan manusia tampak memudar ketika empati dan nurani dikesampingkan.
Masyarakat kini menuntut pemerintah daerah serta aparat penegak hukum untuk turun tangan menyelidiki dugaan kelalaian tersebut. Bukan untuk mencari kambing hitam, namun demi memastikan tragedi serupa tidak terulang. Dalam semangat Kuntowijoyo, kritik publik semestinya menjadi jalan menuju kesadaran sosial profetik, yaitu kesadaran untuk memperbaiki sistem dengan nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai pijakan utama.
Sudah saatnya RSUD Malingping berbenah dan menata ulang sistem pelayanannya dengan hati dan rasa tanggung jawab moral. Sebagai rumah sakit rujukan utama di wilayah Lebak Selatan, pelayanan cepat, sigap, dan berempati harus menjadi prioritas. Di balik setiap pasien yang datang, ada keluarga yang menggantungkan harapan besar. Karena nyawa manusia tidak seharusnya menunggu di balik meja administrasi.
Penulis: Linda Melia Putri
Dosen Pengampu: Angga Rosidin, S.I.P., M.A.P.
Kaprodi: Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos.
Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang (UNPAM) Kampus Serang










