SERANG – Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej angkat bicara terkait kegelisahan publik atas penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
Kekhawatiran itu muncul dari sejumlah mahasiswa, salah satunya di Banten, yang menilai Pasal 218 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP berpotensi menjadi pasal karet dan merundung kebebasan berpendapat di ruang publik.
Pasal tersebut berbunyi: “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Hal ini mengemuka dalam acara sosialisasi KUHP baru yang digelar Kanwil Kemenkumham Banten di Kampus UNTIRTA, Kabupaten Serang, Kamis 2 Oktober 2025.
Menanggapi hal itu, Wamenkum HAM menegaskan bahwa KUHP baru diberlakukan untuk menjaga martabat Presiden dan Wakil Presiden sebagai kepala negara.
“Dalam ajaran manapun tidak ada yang memperbolehkan adanya penghinaan kan,” ujarnya di hadapan peserta sosialisasi.
Ia menambahkan, masyarakat tetap dijamin kebebasannya dalam menyampaikan pendapat, termasuk melalui unjuk rasa, sebagaimana prinsip dasar negara Indonesia sebagai negara demokrasi.
“Kita waktu itu memang menyusun untuk mencegah, jangan sampai pasal ini disalahgunakan oleh aparat penegak hukum,” katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa fungsi hukum pidana tidak lepas dari perannya untuk melindungi kepentingan individu, masyarakat, dan negara.
“Kepentingan negara yang dimaksud adalah menjaga harkat dan martabat presiden yang merupakan kepala negara ini,” jelasnya.
Edward juga mengingatkan bahwa hampir di seluruh dunia terdapat aturan serupa mengenai larangan penghinaan terhadap kepala negara asing.
“Pada KUHP di seluruh dunia juga terdapat pasal tentang larangan penghinaan kepala negara asing. Pelanggarnya bisa dihukum pidana, jadi ibaratnya kita tidak boleh menghina orang tua tetangga dan orang tua kita sendiri,” ungkapnya.
Menurutnya, pasal penghinaan Presiden juga disusun sebagai bentuk pengendalian sosial, guna mencegah konflik horizontal di tengah masyarakat.
“Presiden dan wakil presiden merupakan tokoh yang dipilih melalui Pemilu resmi dan memiliki basis massa. Jadi aturan ini penting agar tidak terjadi pertikaian antar kelompok masyarakat,” tandasnya.