Senin, 10 Februari 2025 8:41 WIB
BerandaFeatureKopi, Nadi Kehidupan Petani di Kaki Gunung Karang

Kopi, Nadi Kehidupan Petani di Kaki Gunung Karang

- Advertisement -

PANDEGLANG – Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar kaki Gunung Karang, Pandeglang-Banten, tanaman kopi bukan hanya sekadar tumbuhan hijau yang menyejukkan. Kopi sudah seperti nadi yang tak boleh berhenti beroperasi. Dari sinilah mereka hidup dan menghidupi.

Ada filosofi hebat yang tertanam dalam diri mereka “leuweung hejo, masyarakat ngejo” yang jika diartikan adalah hutan hijau (hutan lestari) masyarakat menanak nasi. sederhananya jika hutan lestari masyarakat bisa makan. musabab Sebagian besar masyarakat di sini berprofesi sebagai petani yang bergantung hidup pada hasil alam.

Sebut saja Apan, salah satu petani kopi Gunung Karang yang kami temui pada 12 Mei 2024. Darinya, kami belajar betapa kopi selalu memiliki cerita tersendiri yang tak pernah usang dan selalu menginspirasi. Warga Kelurahan Juhut-Pandeglang tersebut mengaku mencintai kopi sejak dini.

Apan, Salah Satu Petani Kopi Gunung Karang. Foto: DBN (Mardiana Akin)

Dahulu, Apan selalu dibawa ke kebun kopi oleh kakek dan orang tuanya. Dari ketinggianlah dia belajar menanam dan merawat kopi. Baginya, alam adalah buku yang terbuka lebar, mengajarkan bagaimana mengolah biji-biji pilihan hingga menimbulkan aroma kekhasan yang disukai banyak orang. Tidak berhenti sampai di situ, dirinya juga ikut menjajakan kopi siap saji (kopi tubruk) dengan berjualan keliling bermodalkan telapak kaki.

Hingga saat ini, bapak satu anak itu masih konsisten bersama kopi. Kami diajak berkeliling melihat penyemaian kopi miliknya. Di tempat inilah Apan bersama Kelompok Tani Sanghyang Payung berjuang melestarikan kopi. Sambil mengenalkan jenis-jenis tanaman kopi yang mereka tanam, mulai dari Liberika, Robusta hingga Arabika dan lainnya, dia tunjukkan satu persatu kepada kami.

Tempat Penyemaian Bibit Kopi Pilihan milik kelompok Tani Sahyang Payung. Foto: (Mardiana Akin)

Kelompok Petani ini bukan hanya menanam dan merawat kebun kopi. Jauh lebih dari itu, Kelompok Tani Sanghyang Payung dan Kelompok Tani Lawang Taji yang tergabung dalam Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Tri Sanghyang telah membuat hutan lestari dan menciptakan ekosistem pertanian dan ekonomi yang inovatif juga solutif dalam memecah persoalan para petani kopi.

“Dulu kami belum mengerti bagaimana menikmati kopi seperti saat ini. Bukan pasar yang merusak harga, tapi kita sendiri yang gak ngerti mengolah kopi,” ujar Apan sambil memperlihatkan bibit-bibit kopinya yang siap tanam.

Mengurai polemik petani bukanlah hal yang mudah. Menurut Apan, harga kopi terjun bebas akibat petani yang kurang paham bagaimana memilih dan memilah biji kopi yang bernilai tinggi. Namun, sejak adanya program LEM hasil kolaborasi Dinas Pertanian Provinsi dan Bank Indonesia Perwakilan Banten, para petani kopi di Kaki Gunung Karang semakin mengerti bagaimana meningkatkan produktivitasnya.

Berbagai pelatihan mulai dari penyemaian, penanaman, perawatan, pemanenan, penjemuran, penyortiran, pengolahan hingga penyajian dilakukan dengan berbagai inovasi dan sinergi antargenerasi dan instansi.

Bibit Kopi Siap Tanam hasil budidaya Kelompoktani Sanghyang Payung. foto : DBN (Mardiana)

“Kita merawat kopi dengan sangat teliti, bahkan pohon kopi kita ada yang mencapai 10 meter. Itu khusus untuk pembibitan, pohon yang tidak produktif kita tebang dan digantikan dengan tunas yang baru lalu kita stek supaya kembali produktif,” kata Apan.

Apan mengaku sebelum adanya program ini, dirinya mengelola 6 tempat total lahan yang digarapnya kurang lebih 5 hektar yang menghasilkan 5 ton biji kopi per tahun. Dengan kisaran harga jual 18.000 sampai 20.000 rupiah per kilogram, bisa dibayangkan betapa kopi sangat menjanjikan pundi-pundi rupiah apalagi dengan sistem saat ini.

“Kalau dulu kan asal tanam, asal panen, asal olah. Kalau sekarang semuanya tertata. Jarak tanam diperhatikan, setiap hari kita fokus ngurus kopi gak kenal lelah,” begitulah kata Apan.

LEM Tri Sanghyang bukan hanya menata petani dan kebun kopi, namun juga mengembalikan harga kopi sebagaimana mestinya. Melalui sistem LEM, petani kopi bisa menjual di kisaran harga 25.000 hingga 40.000 rupiah per kilogram sesuai rade (kualitas) pasaran.

Adanya pembinaan yang intensif, masyarakat kini mulai kembali membicarakan dan melirik kopi sebagai tanaman ekonomis. Menjadi investasi tahunan bagi para petani, sedangkan kebutuhan sehari-hari sudah bisa terpenuhi dengan hasil sayuran yang ditaman di antara pohon kopi.

hutan Lestari, Petani Heppy. Foto: DBN (Mardiana)

“Kita juga menggunakan sistem campur sari, kita bisa merawat kebun kopi sambil menanam wortel, menanam kentang, sawi, dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” pungkasnya.

Lahan semakin meluas, gunung semakin menghijau, petani semakin makmur. Itulah kondisi kaki Gunung Karang saat ini. Karena ngopi tidak selalu tentang kopi, secangkir kopi yang setia menemani pagi adalah harapan para petani, berbicara tentang kopi adalah sinergi membangun negeri, berbicara tentang kopi, berbicara tentang bumi yang lestari.

(Mardiana/Herfa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

BERITA TERKINI

- Advertisment -